“Aku pernah merasakan bagaimana rasanya orang menderita. Lapar, dahaga, terlunta-lunta, dan tak seorang pun mengabaikan kita. Harga kita menjadi sangat murah. Jauh lebih mahal seekor anjing atau burung piaraan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Tapi, nyatanya terjadi. Orang boleh tidak percaya, tapi kalau nyatanya begitu?” *** Saat musim menyongsong kemarau, pohon-pohon turi berkembang. Kembangnya putih. Indah. Tapi, itulah kembang-kembang yang malang. Sebelum orang menikmati keindahannya, kembang itu sudah direnggut dari tangkainya untuk dibuat menjadi sejenis makanan. Marni dan Dirman, dua kakak beradik, bernasib mirip kembang turi. Keduanya dicopot dari tangkai kehidupan masa kanak-kanak yang bahagia bersama kedua orang tuanya. Lalu, terlempar ke padang kehidupan yang keras dan mendera. Mereka terpisahkan dari orang tua yang sudah berada di alam baka. Lalu, terlunta-lunta meniti nasib sambil menyeret hati kanak-kanaknya yang rompal. Lantas, bagaimana nasib mereka kemudian? Dengan gayanya yang lugas dan mengalir jernih, pengarang Sang Nyai ini berhasil memotret sebuah dunia kelas bawah melalui cara yang cerdas dan menawan. Sebuah novel dengan unsur dramatis yang kental dan penuh gereget. Layak Anda baca!