“Ini gelas Kakak! Jangan disentuh!” ujar Aziz pada Zahra adiknya. “Nggak mau, ini gelas Adik!” Zahra memegangi gelas kaca berbentuk boneka itu kuat-kuat. “Balikin, nggak?!” PYARRR!! Zahra malah membuang gelas tersebut hingga pecah berkeping-keping. “Adik gimana sih! Dasar nakal!!” Aziz pun mencubit adiknya dengan sangat keras. Zahra mulai menangis. Tapi ia juga tidak mau diam saja tidak membalas kakaknya. Ia mulai memukuli kakaknya di bagian mana saja yang bisa dikenainya. Kedua anak itupun saling memukul, menendang, dan... sama-sama menangis! Bapak-Ibu, pernahkah putra-putri Anda tercinta mengalami pertengkaran harian yang demikian? Yang kadang berakhir dengan saling mencubit atau memukul? Belum lagi jika si kecil dibelikan sepatu dan kakaknya tidak. Bisa jadi, suatu ketika sepatu sang adik dibuang ke tempat sampah oleh si kakak yang cemburu. Wajarkah yang demikian itu? Pada praktiknya, persaingan antarsaudara kandung (atau yang dikenal dengan istilah sibling rivalry) baik saudara laki-laki ataupun perempuan tak dapat terelakkan. Orang tua sering dibuat pusing dengan pertengkaran anak-anak mereka. Padahal, ternyata sibling rivalry tidak selamanya buruk. Ada sisi baik yang dapat dimanfaatkan oleh para orang tua untuk pengembangan kepribadian anak-anak mereka. Bagi anak-anak, persaingan ini semacam permainan. Padahal, bermain adalah proses pembelajaran anak tentang kehidupan. Dengan demikian, pada saat-saat tertentu, sibling rivalry menjadi momen untuk mempelajari hal-hal baru, seperti prinsip kebersamaan, keadilan, kelapangan hati, bersaing secara sportif, dan sebagainya. Jadi, dalam setiap persaingan kakak-adik, secara tidak langsung anak-anak belajar mengenai kehidupan yang sesungguhnya, yakni bagaimana seharusnya mereka berinteraksi dengan orang lain dengan baik.