Dakwah pada dasarnya mengandung ide sivilisasi (taqwîm al-hadhârah), yakni usaha sadar dan sistemik yang dilakukan orang beriman agar manusia sebagai mitra dakwah (mad’ú) bertransformasi menjadi manusia dan masyarakat yang unggul dengan tingkat budaya dan keadaban yang tinggi, khaira ummah (QS. Ali Imran [3]: 110). Sebagai sivilisasi, dakwah harus menjunjung tinggi demokratisasi, HAM, keadilan gender, dan kelestarian alam dan lingkungan (flora dan fauna), serta bebas dari bias-bias kekerasan, pemaksaan, dan intimidasi, sesuai doktrin Islam sendiri yang menyatakan dengan tegas, “Lâ Ikrâha fî al-Dîn”, tak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256). Dakwah mesti dilakukan dengan penuh keadaban (QS. an-Nahl [16]: 125) dan berbasis kepentingan mad’ú, bukan da’i (QS. Ibrahim [14]: 4). Pada masyarakat dan bangsa yang plural dan multikultural seperti Indonesia, dan pada masyarakat global sekarang, maka dakwah kultural melalui dialog antarbudaya dan dialog antarperadaban, interfaith dialogue (al-hiwâr bayna al-adyân wa al-hadhârât) yang banyak diadvokasi oleh Al-Qur’an sendiri menjadi sangat penting untuk dihidupkan dan diwujudkan dalam praktik dakwah era milenial. Tema dan pesan dakwah sudah semestinya bergeser dari sekadar simbol-simbol (religiositas) ke makna yang lebih substantif (spiritualitas), semacam penguatan moral, etos kerja, dan karakter yang mendukung kemajuan kita baik sebagai umat maupun bangsa. Di samping itu, pada era milenial, dakwah mesti mengkaji philosophy of technology semacam teknologi dakwah atau digitalisasi dakwah, bukan hanya untuk kepentingan pragmatis agar para da’i dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk dakwah, melainkan juga untuk kepentingan yang lebih mendasar dan fundamental, yakni memberi perspektif Islam tentang teknologi dan penggunaannya dalam kehidupan, agar teknologi, sebut saja internet dan media sosial yang sudah mewabah secara global, tidak disalahgunakan untuk maksud-maksud jahat, semacam fitnah, hoax, fake news, ujaran kebencian, terorisme, dan tindakan tercela lainnya. Pada era milenial, tugas dakwah menjadi semakin berat dan luas. Para da’i harus menegakkan amar makruf nahi munkar sebagai bagian penting dari dakwah tidak saja dalam realitas objektif, tetapi juga dalam realitas virtual dalam ῝alam jagat raya῎ bernama cyber space yang tak bertepi dan tak bertuan. Buku ini menawarkan gagasan-gagasan baru untuk menjawab peluang dan keperluan dakwah era milenial. Wallâhu a’lam!
Buku *The True Da’wa Menggagas Paradigma Baru Dakwah Era Milenial* karya Dr. A. Ilyas Ismail, M.A. membahas tiga aspek utama dalam upaya pembaruan dan modernisasi gerakan dakwah di tengah tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh era globalisasi dan digitalisasi. Pertama, buku ini mengupas fenomena globalisasi dan sekularisme, serta mengusulkan konsep *internasionalisasi Islam* sebagai jawaban alternatif terhadap dominasi globalisasi Barat. Kedua, buku ini menyajikan 16 ide kunci tentang pembaruan pemikiran dan metodologi dakwah, yang menunjukkan pergeseran paradigma dari pendekatan lama ke pendekatan baru yang lebih relevan dengan realitas masyarakat kontemporer. Ketiga, buku ini menyoroti pentingnya teknologi dan digitalisasi dalam dakwah, menegaskan bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi menjadi *sine qua non* dalam dakwah di era milenial. Dengan pendekatan yang kritis, kreatif, dan berbasis keilmuan, buku ini menjadi referensi penting bagi para pelaku dakwah, akademisi, dan pecinta ilmu-ilmu keagamaan dalam menghadapi tantangan dan peluang abad ini.