SEMAR MBANGUN PERADABAN“Udu mbangun gedung, ning mbangun manungsone. Ora kok perkoro gedung sing magrong-magrong seko mas, jamrud, nanging wong sing ing Negoro ngamarta kui pie ben uripe kebak kanikmatan, pada rukun, tentrem, ayem atine, samat-sinamatan. Yen abot podo dipikul, yen enteng podo dicangking bareng-bareng. Mujudake negoro sing adil, tyas bagyo mulyo, rukun; uripe podo dene neng kahyangan.” – Semar (Semar Mbangun Kahyangan; Ki Seno Nugroho) Indonesia memang sudah 75 tahun merdeka, tetapi dalam hal pembangunan, apakah kita sudah benar-benar mencapai titik kemerdekaan seperti yang diharapkan? Berbagai problematika yang ada, mulai dari ketimpangan pemerataan pembangunan, hingga kisruh mengenai penolakan dan penggusuran, hingga kini masih menjadi PR besar bangsa yang belum terselesaikan. Pembangunan masih menjadi isu primadona yang mendominasi perbincangan di berbagai forum terbuka dan media massa.Sebenarnya, apa masalahnya? Rupa-rupanya, selama ini kita terlalu terfokus pada proyek-proyek pembangunan yang bersifat materiil, dan masih bias pada pentingnya pembangunan spiritual serta moril; pembangunan manusianya. Padahal, dua substansi tersebut tidak kalah pentingnya dalam proyek pembangunan. Maka, kini saatnya kita memberi atensi pada hal fundamentalis tersebut. Ada banyak cara dan strategi yang dapat dilakukan. Namun, selama ini, strategi-strategi dalam proyek manajemen pembangunan sendiri, cenderung mengacu pada literatur barat. Padahal, sebenarnya kita memiliki sebuah local knowledge asli Indonesia yang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dalam hal tersebut, yakni wayang.Wayang, sesuai dengan fungsinya sebagai tontonan lan tuntunan, piweling lan piwulang tidak hanya menyajikan hiburan lewat lakon-lakon yang dipertunjukkan, tetapi juga menyuguhkan berbagai nilai-nilai kehidupan yang adi luhung. Nilai-nilai yang sarat akan filosofi serta strategi yang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dalam menghadapi berbagai tantangan dan persoalan dalam jagad proyek pembangunan. Salah satu contohnya seperti pitutur Semar yang tersemat di atas tadi, bahwa sekali lagi, “Udu mbangun gedung, ning mbangun manungsone.”
Buku Buku ini menggabungkan dunia pewayangan Jawa dan Bali dengan konsep manajemen proyek modern, sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan nonteknis dan kearifan lokal dalam pembangunan. Karakter Semar, yang muncul pertama kali dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit, menjadi pusat pendekatan dalam buku ini. Melalui proses pemikiran mendalam, para pujangga Jawa mengembangkan karakter Semar menjadi tokoh yang mumpuni, baik secara manusiawi maupun dalam aspek spiritual, yang dianggap memiliki kemampuan untuk memastikan keberhasilan pembangunan. Buku ini menyajikan pendekatan unik dalam manajemen proyek, dengan menggabungkan kemampuan teknis dan kearifan lokal, yang dianggap sebagai aspek penting dalam pembangunan peradaban. Penulis menekankan bahwa pembangunan tidak hanya melibatkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan karakter masyarakat dan peradaban yang harmonis, seimbang antara aspek teknis, non-teknis, dan spiritual. Dengan menggunakan cerita pewayangan sebagai simbol dan referensi, buku ini berharap mampu menggugah para insinyur Indonesia untuk lebih memperhatikan nilai-nilai lokal, kearifan tradisional, dan filosofi yang telah diwariskan oleh para pemikir luar biasa masa lampau. Buku ini juga dianggap sebagai jembatan penghubung antara masa revolusi industri 4.0 dengan cita-cita masyarakat 5.0 yang modern, harmonis, dan membahagiakan.