<p>Sebagai manusia normal, aku justru membeku menyaksikannya. Sungsang keberanianku. Bagaimana tidak, selain “salju” pekat makin menderas gugur, membenamkan jalanan dan rumah di tiap sudut. Langit begitu sendu. Berat sekali. Tidak. Kurasa ini bukan mendung. Bukan juga gerhana. Hei, jika ini gerhana, tidak perlu menunggu lebih dari satu jam untuk mempersilakan matahari tampil usai bersolek.</p> <p>Tapi, apa ini? Dan, apa yang membuatmu menancapkan pandangan kepadanya?</p> <p>Sebagai manusia normal, aku justru membeku menyaksikannya. Sungsang keberanianku. Bagaimana tidak, selain “salju” pekat makin menderas gugur, membenamkan jalanan dan rumah di tiap sudut. Langit begitu sendu. Berat sekali. Tidak. Kurasa ini bukan mendung. Bukan juga gerhana. Hei, jika ini gerhana, tidak perlu menunggu lebih dari satu jam untuk mempersilakan matahari tampil usai bersolek.</p> <p>Tapi, apa ini? Dan, apa yang membuatmu menancapkan pandangan kepadanya?</p> <p>Dan, butuh keteguhan untuk memastikannya. Baiklah. kurasa, ini pertanda bahwa ‘pria itu sudah muncul dari balik dua tirainya.’ Aku yakin, kalian memahami <em>siapa</em> yang aku maksud.</p> <p>Tidak, kurang jelas?</p> <p>Mari, kita sederhanakan. Kata kuncinya, dia adalah sutradara palsu yang mendapat limpahan kelebihan untuk mengkreasi alurnya sendiri. Dunia pernah merasakan aksinya. Dua kali. Perseteruan maha dahsyat yang mempertemukan dua kutub militer terbesar. Edisi pertama dimenangkan penakluk kekhalifan terakhir, Ustmani. Dan jawara kedua ialah yang mempecundangi <em>der Führer</em> di negaranya sendiri.</p>