Media sosial menjadi platform yang seharusnya menjadi tempat para pendakwah yang benar-benar otoritatif untuk menunjukkan kepada publik mana yang benar dan mana yang keliru. Tapi, ternyata media sosial tidak datang semulia itu, ia membawa persoalan baru yang sebelumnya belum ada di televisi.
Ruang maya ini justru membuat seseorang dapa dianggap sebagai pakar dari tampilan-tampilan luaran (baca: kosmetik) yang menyerupai seorang pakar. Dengan menggunakan bahasa yang sesuai habitus suatu kelompok, ia akan dianggap bagian dari kelompok itu.