<p>Antologi Cerpen Pemenang Lomba Menulis Cerpen Ke-10 Tulis.me</p> <ol> <li>Finlan Adhitya Aldan</li> <li>Wahyu Christian Adi Sety</li> <li>Chris Wibisana</li> <li>Ramadhan Eka Syaputra</li> <li>Beri Hanna</li> <li>Indira Ratih</li> <li>Kalila Fayza</li> <li>Ahmad Abu Rifa’i</li> <li>Lavenna Senjaya</li> <li>Anggraeni Windi Gernia</li> <li>Ghumai Namira Afda</li> <li>Djambak</li> <li>Ahmad Redho Nugraha</li> <li>Meli Afrodita</li> <li>Hadiwinata</li> <li>Arafat Nur</li> <li>Alfira Rusfika</li> <li>Ewel Galih</li> <li>Dimas Fahmil Haris</li> </ol>
Buku ini menggambarkan dunia yang penuh misteri dan konflik, di mana keberadaan burung-burung di udara menjadi simbol dan penyebab dari berbagai aturan dan peraturan yang dianggap tidak masuk akal oleh masyarakat desa. Dalam cerpen ini, penulis menggambarkan dua faksi yang berbeda pandangan satu faksi yang percaya bahwa perilaku burung memiliki makna dan hubungan dengan manusia, dan faksi lain yang menyangkal keberadaan hubungan tersebut. Cerita ini menggambarkan perpecahan ideologi, kebingungan, dan keputusasaan dalam mencari makna dari aturan yang dianggap tidak relevan. Buku ini juga mengandung cerita-cerita pendek lainnya yang menarik, seperti "Nambakor, 11 November 1947", "Doa Sunyi Abdullah Koster", dan lainnya, yang masing-masing menggambarkan dunia yang berbeda dan penuh simbolisme. Buku ini tidak hanya menyajikan narasi cerita, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara manusia, alam, dan aturan yang berlaku.