Sumur-sumur tidak lagi dibiarkan terbuka. Pintu-pintu rumah mulai dipagari carang bambu. Anak-anak kecil, bahkan orang dewasa sekalipun tidak lagi bebas keluyuran. Jangan memanjat pohon! Jangan mengendarai kendaraan! Hari ini Rabu Bekasan, banyak musibah yang diturunkan. * Ibu Maria mulai membentangkan daun pisang yang sudah disobek bersegi empat. Tajin safar yang warnanya merah gula aren mulai dililitkan memenuhi sobekan daun pisang. Ibu Maria menyiapkan sajian tajin safar<em> </em>itu sejumlah jangkauan tetangga dekat. ;Mengapa warnanya mesti serupa gula aren, Bu? ;Itu simbol, Nak. ;Terus, lilitan kecil berwarna putih di atasnya, simbol apa, Bu? ; ;Simbol keselamatan. ; ;Banyak juga yang memasak<em> </em>tajin safar hari ini, Bu? ;Begitulah... ;Memangnya harus menunaikan semua, Bu? ;Ya... ;Bagi yang tidak menunaikan, Bu? Tak ada jawaban atas pertanyaan Maria. Ibunya melanjutkan mengantarkan sajian<em> </em>tajin safar yang masih tersisa beberapa. ; ;
Buku Buku ini menggambarkan kisah Maria, seorang penyuka kopi yang menginginkan suami yang juga menyukai kopi. Dalam perjalanan hidupnya, Maria sering kali bertemu dengan berbagai jenis orang melalui ritual minum kopi yang ia lakukan. Setiap pertemuan dengan seseorang melalui cangkir kopi yang sunyi menjadi momen penting bagi Maria, karena ia percaya bahwa hanya melalui kopi ia bisa menemukan dirinya sendiri. Dalam cerita ini, kopi dan Maria saling menggambarkan satu sama lain—kopi adalah Maria, dan Maria adalah kopi. Kisah ini juga menggambarkan keinginan Maria untuk menemukan jodoh yang sesuai dengan harapan dan rencana hidupnya, meski terkadang ia merasa tidak paham akan makna jodoh itu sendiri. Buku ini menggabungkan filosofi, imajinasi, dan metafora dalam sebuah narasi yang mendalam dan penuh makna.