Ketika berbicara tentang negara demokrasi maka tidak bisa lepas kepada pertanyaan apa yang menyebabkan negara itu bisa dikategorikan demokrasi atau bukan demokrasi. Maka dalam hal ini dibutuhkan sebuah kalsifikasi, alat ukur dan kreteria yang bisa menjawab mengapa negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara demokrasi. Kebingungan ini bermula ketika demokrasi masih didefinisikan terlalu abstrak, misalnya kita mengambil defenisi yang paling awal yang berasal dari Yunani kuno, tepatnya di kota Athena (5 SM), yang secara harfiah, demokrasi berarti kekuasaan di tangan rakyat, yang berasal dari kata "demos" (rakyat) dan "kratos" (kekuasaan). Melalui defenisi yang masih bastrak ini, maka setiap negara sesungguhnya bisa mengklaim negaranyalah yang paling demokratis, baik itu negara monarki absolut atau fasisme sekalipun. Sebab pada dasarnya, demokrasi adalah pemerintahan yang tujuannya untuk menjujung tinggi kedaultan atau kepentingan rakyat menurut versinya. Lebih lanjut, Abraham Lincoln dalam pidato singkatnya yang sangat terkenal dan berpengaruh hingga saat ini (Pidato Gettysburg, 19 November 1863 saat peresmian Pemakaman Nasional Gettysburg), menyebutkan defenisi demokrasi, yaitu the government of the people, by the people, and for the people, atau pemerintahan yang berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan tujuan serta sasarannya untuk rakyat pula. Sebenarnya secara general defenisi ini telah menggambarkan sebuah entitas negara demokrasi, yaitu negara yang kekuasaannya dipegang oleh rakyat, bukan dari kelompok, suku, keluarga atau bangsawan tertentu, yang dijalankan secara bersama-sama untuk kepentingan rakyat. Tentu saja defenisi ini kebalikan dari negara monarki dimana kekuasaan mutlak di tangan keluarga bangsawan tertentu secara turun temurun dan tidak boleh dibagi-bagi kepada yang bukan selain keluaga bangsawan itu.