Al-Qur’an berasal dari kata Qira’ah yang dapat diartikan sebagai huruf-huruf atau kata-kata yang dirangkai sehingga menjadi sebuah ungkapan. Dari sini menunjukkan bahwa alQur’an adalah ungkapan-ungkapan Allah SWT. Senada dengan pengertian tersebut, al-Ghazali mengatakan –sebagaimana dikutip Nur Kholis- bahwa al-Qur’an adalah firman, kalam, atau perkataan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa alQur’an merupakan bahasa lisan yang dilakukan oleh Allah SWT, kepada Malaikat Jibril, lalu disampaikan kepada Nabi Muhammad, dan akhirnya sampai ke umat Islam. Fazlu Rahman –sebagaimana dikutip Abdullah Saeed- mengatakan bahwa: Menurut al-Qur’an sendiri, dan sebagai konsekuensinya menurut umat Islam, al-Qur’an adalah kalam Allah... Tidak hanya kata Qur’an yang bermakna ‘bacaan’, secara jelas mengindikasikan ini, akan tetapi teks al-Qur’an itu sendiri menyebutkan pada beberapa tempat bahwa al-Qur’an diturunkan secara verbal, dan tidak hanya dalam ‘makna’ dan ide saja. Perlu ditekankan di sini bahwa jika al-Qur’an diartikan sebagai kalamullah, maka al-Qur’an merupakan ungkapan yang menyatu dengan pengungkap, yakni Allah SWT, sehingga jati diri al-Qur’an bukanlah makhluk. Sedangkan, jika al-Qur’an disebutkan sebagai kitabullah, maka al-Qur’an mengalami proses dari lisan ke tulisan, konsekuensinya adalah al-Qur’an mengalami pelepasan jati diri dari pengungkapnya, dari sini al-Qur’an akan disebut sebagai makhluk, karena telah menjadi produk dalam bentuk mushaf, sebagaimana yang dimaksud di sini adalah bentuk mushaf yang ditulis oleh para sahabat. Jika dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, sebagaimana disepakati oleh mayoritas ulama, maka al-Qur’an perlu dipahami dalam rana kelisanan, sebab ia disampaikan dalam bahasa lisan. Hal ini penting dilakukan agar memahami al-Qur’an bukan berdasarkan apa yang telah berbentuk tulisan atau teks mushaf, oleh karena bahasa lisan tidaklah sama dengan bahasa tulisan.
Buku Buku ini berjudul *PENGANTAR AL-QUR’AN & HADIS UNTUK INDONESIA Upaya Membaca Sisi Kelisanan Al-Qur’an dan Hadits*. Buku ini merupakan hasil penelitian lanjutan dari skripsi penulis yang berjudul “Penafsiran M. Quraish Shihab tentang QS. al-Qalam dalam Tafsir al-Mishbah dari Teks ke Lisan”. Dalam buku ini, penulis menggali lebih dalam tentang konsep *kelisanan* dalam Al-Qur’an dan Hadis, yang merupakan upaya untuk memahami ajaran Islam dari perspektif lisan, bukan hanya teks. Penulis menyoroti perbedaan signifikan antara tafsir tulis dan tafsir lisan, yang terjadi karena perbedaan konteks. Dalam tafsir lisan, penafsir cenderung menyesuaikan penafsirannya dengan situasi dan konteks yang berbeda dibandingkan dengan tafsir tulis. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan dan lisan adalah dua bentuk ekspresi yang saling melengkapi, namun memiliki perbedaan yang penting jika tidak diperhatikan, maka akan muncul kesalahpahaman. Buku ini juga menjelaskan pentingnya memahami sisi lisan dalam Al-Qur’an dan Hadis, khususnya dalam konteks Indonesia. Penulis menekankan bahwa umat Islam di Indonesia perlu melepaskan diri dari pemahaman tekstualitas yang terlalu kaku, karena seringkali terjadi kesalahpahaman antara Islam dengan budaya Arab dan budaya Indonesia. Dengan memahami sisi lisan, umat Islam dapat memiliki kesadaran yang lebih dalam terhadap teks agama yang dimilikinya, serta mampu membangun sikap baru dalam memahami ajaran Islam secara kontekstual di Indonesia. Buku ini juga menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia, belum ada kajian yang secara khusus membahas kelisanan Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, penulis berharap buku ini dapat menjadi langkah awal untuk membuka wawasan dan membangun pemahaman baru tentang ajaran Islam yang relevan dengan konteks Indonesia.