Pada Bab 1 buku ini, penulis mengangkat isu krusial tentang Disintegrasi Teologi dan Misiologi Kristen dalam Era Postmodern, sebuah realitas yang tidak bisa dihindari oleh gereja di tengah arus perubahan zaman. Pergeseran budaya, dinamika pengetahuan, dan perubahan nilai-nilai moral serta spiritual telah menciptakan tantangan baru bagi gereja dalam mempertahankan keseimbangan antara ortodoksi dan relevansi. Dalam bab ini, penulis memaparkan bagaimana pergeseran paradigma dalam masyarakat postmodern mengguncang pemahaman tradisional tentang iman, otoritas Alkitab, serta eksistensi gereja di tengah dunia yang semakin cair dan plural. Relativisme, individualisme, dan skeptisisme terhadap institusi keagamaan menjadi tantangan serius yang tidak dapat diabaikan. Dalam konteks ini, teologi misi tidak cukup hanya mempertahankan kemurnian doktrin, tetapi juga harus menemukan cara-cara yang efektif, relevan, dan transformatif dalam mengomunikasikan Injil kepada dunia yang terus berubah. Pada bagian kedua buku ini, penulis mengajak pembaca untuk meretas jalan bagi misi Kristen, teologi konstruktif, dan kehidupan gereja di era postmodern. Pemaparan ini bertujuan untuk menolong gereja dalam memahami dinamika perubahan zaman sekaligus menemukan pijakan teologis yang kokoh agar tetap relevan dalam mengemban panggilan misinya. Dalam bagian ini, penulis menguraikan bagaimana gereja dapat menafsir ulang peran dan panggilannya di tengah masyarakat yang semakin plural, kritis, dan skeptis terhadap institusi keagamaan. Gereja bukan hanya dipanggil untuk mempertahankan ajarannya secara dogmatis, tetapi juga untuk mengembangkan pendekatan misi yang lebih inklusif, transformatif, dan berbasis pada dialog dengan dunia di sekitarnya. Lebih lanjut, penulis menyoroti teologi konstruktif sebagai alat reflektif bagi gereja dalam menafsirkan ulang warisan teologisnya tanpa kehilangan esensi Injil. Teologi yang tidak hanya berakar pada ortodoksi, tetapi juga mampu menjawab pertanyaanpertanyaan eksistensial yang muncul dalam kehidupan jemaat modern. Dalam aspek kehidupan gereja, penulis membahas bagaimana komunitas iman harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan perubahan budaya tanpa kehilangan jati dirinya sebagai tubuh Kristus. Gereja harus menjadi ruang yang mampu merangkul perbedaan, menghadirkan kasih dan keadilan, serta memberikan jawaban atas keresahan spiritual yang muncul di era postmodern ini. Dengan demikian, bagian ini tidak hanya memberikan analisis kritis terhadap tantangan yang dihadapi gereja, tetapi juga menawarkan solusi yang konkret dan kontekstual agar gereja dapat terus menjalankan misinya secara efektif, transformatif, dan relevan di zaman yang terus berubah.