“Menjadi Guru Nahdliyin-Marhaenis” bukan sekadar istilah ganda yang romantis atau simbolik. Ia adalah identitas ganda yang saling mengu atkan. Seorang guru Nahdliyin adalah penjaga tradisi keilmuan Islam Nusantara, penanam nilai Aswaja yang penuh rahmah, tawassuth, tawazun, dan tasamuh. Sedangkan guru Marhaenis adalah pendidik yang berpihak pada kaum kecil, pembela keadilan sosial, dan pelaku pendidikan pembe basan sebagaimana diamanatkan oleh Bung Karno. Keduanya, jika berpadu dalam satu jiwa pendidik, akan membentuk sosok transformasional yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mencerahkan, membebaskan, dan membangun bangsa dari akar rumput. Buku ini disusun sebagai respons terhadap tiga krisis mendasar dalam pendidikan kita hari ini: krisis ideologis, krisis kebangsaan, dan krisis transformasi guru dalam menghadapi era digital yang sarat artifi cial intelligence namun kerap kehilangan arah moral. Guru—yang seharusnya menjadi benteng peradaban —justru sering kali terjebak dalam rutinitas administratif, tuntutan kurikulum, dan tekanan performa, hingga kehilangan kedalaman makna dan arah perjuangannya.