Perilaku membully terkesan diwajarkan. Karena mungkin menurut orang yang belum mengerti, sekedar memukul dan mengejek nama bapak itu hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Padahal itu sangat mengganggu. Perilaku receh yang dilakukan secara terus-menerus dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan ini, efeknya bukan hanya ke fisik. Tapi juga mental (batin). Korban perundungan senantiasa menarik diri dari aktivitas interaksi sehari-hari, tidak percaya diri, trauma berkepanjangan, dan yang lebih parah akan mengalami stress, cernas, dan takut akan situasi baru (dalam Haynie, dkk 2001). Tetapi untuk sejauh ini, kira-kira pembully itu tahu apa tidak ya kalau orang yang jadi korban perundungan itu dampaknya sangat fatal? mungkin seminimal- minimalnya sih ada suatu titik dimana pelaku itu merasa bersalah dan sadar. Itupun jika usianya sudah terbilang dewasa. Namun, menurut penelitian yang ada sejauh ini, pelaku masih belum bisa mengontrol emosi pasca mem-bully. Dari sini sudah terlihat jelas, ada yang salah di jiwa sang pembully. Namun di balik itu semua, terkadang kita hanya merujuk ke satu sisi dimana ia sebagai pelaku. Coba jika kita telusuri lebih dalam, apa yang sedang ia alami, bagaimana dia bisa melakukan itu, apakah ada masalah di rumah, dan lain sebagainya. Dari kasus inilah, konselor menjadi pihak ketiga dalam penyembuhan psikis si pelaku.