Bagi Vian, angka adalah monster abstrak yang menari di atas kertas tanpa makna. Matematika adalah mimpi buruk terburuknya. Maka, ketika Bu Rosa memutuskan ia harus mengikuti les tambahan dengan siswi tercerdas di kelas untuk mendongkrak nilainya yang di ambang jurang, Vian merasa hidupnya sudah berakhir. Siswi tercerdas itu bernama Arini. Kacamata tebal, rambut yang selalu dikepang rapi, dan ekspresi tenang yang seolah tak pernah terganggu oleh kekacauan duniawi. Arini tenggelam dalam dunia angka, sama seperti Vian tenggelam dalam dunia melukis dan komik. Dua kutub yang sangat berlawanan. Pertemuan pertama mereka di perpustakaan sekolah terasa kaku. Arini mengeluarkan buku catatan dan pensil mekaniknya, siap tempur. Vian hanya bisa memutar mata, dalam hati merutuk nasibnya. “Kita mulai dari mana?” tanya Arini datar. “Terserah,” jawab Vian lesu. “Semuanya terlihat sama buruknya bagiku.” Arini tidak berkomentar. Ia hanya membuka buku paket Vian ke bab Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Ia mulai menjelaskan, suaranya pelan namun jelas, setiap langkah diuraikan dengan sabar.