Aku tidak tahu kenapa aku seolah terikat dengan Waduk Sermo. Bila kuingat-ingat, tidak ada momen manis yang terjadi padaku di tempat ini. Mungkin itulah mengapa Sermo menjadi istimewa, karena tempat ini tidak ternodai kenangan apa pun akan siapa pun. Netral. Hanya ada kedamaian. Bila kuingat-ingat lagi, ingatanku memang terbatas, tetapi aku tidak keberatan. Terkadang ingatan hanya akan membebani dan menghalangi kita untuk merasa bahagia, bukan? Tiba-tiba alas tempatku berbaring seolah lenyap. Aku terjatuh dalam sekali sampai, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Aku buru-buru mengecek kamera yang kupasang sebelum tidur. Laki-laki yang mirip Suga tadi tidak ada. Tentu saja tidak ada. Hanya terlihat aku sendiri, mencekik diriku sendiri. Ketika aku terbangun, aku terkejut karena dunia di sekitarku telah berubah. Aku bingung dan ketakutan karena tempat ini jauh berbeda dari tempat asalku. Tidak ada sampah yang menggunung, rumah-rumah reyot berlatar belakang gedung-gedung pencakar langit, maupun orang-orang kelaparan yang bergeletakan di tepi jalan. Sejauh mata memandang, hanya ada tanah lapang nan gersang. Meski begitu, suasananya terasa familiar. Kelabu. Suram. Kejam Born, Die, and Everything Between berisi 41 cerita pendek dan fiksi mini. Cerita-cerita di dalam buku ini tidak berada dalam satu tema besar karena memang begitulah hidup, bukan? Kita lahir ke dunia, lalu menjalani segala rasa dan peristiwa sebelum akhirnya kita pergi untuk selamanya. Born, Die, and Everything Between juga begitu, menuliskan tentang apa-apa yang lahir dari rahim dunia, tentang segala rasa yang mengiringinya, hingga apa-apa yang tiada dari keberadaannya. It is all about born, die, and everything between . Selamat membaca!