Sepuluh tahun aku pergi tanpa mempedulikan orang-orang yang kusayangi. Di saat aku hidup dengan tenang dan berkecukupan, mereka mengais-ngais kepercayaan dari lingkungannya. Sungguh, aku bangga kepada ibuku. Dengan kesederhanaannya, dia membalas kebencian dengan seulas senyum tulus. Sementara itu, Yu Rasti dengan keterbatasannya mencoba memberikan yang terbaik bagi desa ini. Seminggu tiga kali, dia mengajar iqra’ anak-anak di sini. Sebab, hanya itulah satu-satunya yang bisa dia lakukan. Selama ini, aku hanya sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk dengan sakit hati dan dendamku. Sibuk dengan kebanggaanku sebagai sarjana, tanpa tahu apakah aku sudah berguna bagi dunia sekitarku. Pembaca, jika Anda sudah membaca buku novel pertama dari Trilogi Madrasah Kampung Sawah, yakni Sang Pelopor, maka inilah buku keduanya, Titian Sang Penerus. Mengikuti alur cerita, konflik, dedikasi, komitmen, dan haru-biru menaklukkan kejamnya dunia pen-didikan modern masa kini, yang tak memberikan ruang hidup bagi si miskin dan marjinal, yang sesungguhnya sama-sama memiliki cita dan ego untuk maju dan pintar, novel motivasi pendidikan ini begitu kuat mengetuk sanubari paling dalam para pemangku sekolah. Sekaligus menetaskan berjuta asa heroik bagi mereka yang terkalahkan arogansi pendidikan atas nama biaya, sumbangan, dan seabrek tuntutan materi lainnya. Pembaca, inilah novel yang telah cukup lama ditunggu para penggemarnya, Titian Sang Penerus.